Konflik Sosial dalam Novel Kalau Tak Untung Karya Selasih | Qureta.com

Dimas Pratama Agung Siswanto
4 min readMar 1, 2023

--

https://www.qureta.com/uploads/post/35558_59446.jpg

“Dalipah pergi ke dapur, diambilnya garam sedikit, digilingnya halus-halus dan digaraminya nasi Rasmani.” Hlm 10

Sastra ialah sebuah ungkapan perasaan, yakni berupa pengalaman kehidupan sang penulis. Yang berarti bahwa sastra tidak akan lepas dari pengalaman sang penulis, penyair, maupun pengarangnya.

Setiap genre sastra baik berupa puisi, prosa, hingga drama merupakan ungkapan penulis terhadap fenomena ataupun gambaran lingkungan yang ada disekelilingnya.

Menurut Andri Wicaksono (2013 : 3), sastra lahir akibat dorongan dasar manusia untuk mengungkapkan dirinya, menaruh minat terhadap masalah manusia dan kemanusiaan, menaruh minat terhadap realitas yang berlangsung sepanjang zaman.

Karya sastra sendiri representasi dari potret kehidupan masyarakat, berupa peristiwa sehingga diambil sebuah gagasan yang dituangkan berbentuk tulisan. karya sastra menampilkan gambaran kehidupan ialah suatu kenyataan sosial. (Andri Wicaksono, 2013 : 1).

Sebagai genre sastra yang paling muda, Novel telah memikat minat banyak kalangan. Novel menurut KBBI, merupakan sebuah karangan prosa yang panjang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang di sekelilingnya dengan menonjokan watak dan sifat setiap pelaku.

Sebuah novel biasanya berisi mengenai interaksi manusia dengan lingkungan dan sekitarnya. Sejalan dengan Kosasih (2012 : 60), novel bisa juga berarti karya imajinatif yang mengisahkan sisi utuh atas problematika kehidupan seseorang atau beberapa orang tokoh.

Novel Kalau Tak Untung merupakan novel yang ditulis oleh Selasih yang merupakan nama samaran dari Sariamin Ismail dan diterbitkan pada tahun seribu sembilan ratus tiga puluh tiga. Selasih merupakan putri dari pasangan Lau dan Sari Uyah, lahir pada tanggal 31 bulan Juli tahun 1909 di kota Pajang, Sumatra Barat.

Setelah Selasih menerbitkan novel Kalau Tak Untung tahun 1933, menjadikan Selasih sebagai novelis perempuan pertama dalam sejarah kesusastraan Indonesia. Novel Kalau Tak Untung diterbitkan oleh Balai Pustaka, konon inspirasi dari pembuatan novel tersebut terinspirasi dari kejadian nyata.

Balai Pustaka memang sering menerbitkan novel-novel berbau percintaan yang tak sampai. Dalam unsur-unsur pembangun novel sendiri terbagi atas dua macam, yakni unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik.

fakta (factas) dalam sebuah cerita meliputi tema, plot atau alur, karakter (tokoh cerita), dan setting atau latar. Dalam pembahasan yang lebih luas dan detail, unsur ekstrinsik lebih meluas sehingga merangkap semua pembahasan, terlebih masalah sosial yang terjadi pada masyarakat. (Burhan Nurgiyantoro, 2015 : 89)

Sastra yang lahir ditengah-tengah masyarakat akan muncul sebuah pesan kritik di dalam bagian sastra itu sendiri, kritik yang disampaikan melalui sastra intensitas munculnya beraneka ragam mulai dari yang rendah hingga ke yang tinggi. Kritik-kritik tersebut dapat disebut kritik sosial.

Tapi, yang sering dijumpai kritik sosial berintensitas tinggi. Penulis menemukan kritik sosial dalam novel Kalau Tak Untung berintensitas menengah.

Kritik sosial sendiri, merupakan suatu bentuk upaya dari pengarang untuk melihat persoalan-persoalan yang berada di masyarakat. Pengarang menuangkannya dalam bentuk tulisan, yang mungkin bisa digunakan sebagai alat protesnya terhadap masalah sosial yang ada dalam kehidupan masyarakat.

Mengemukakan kepincangan-kepincangan yang dianggap sebagai masalah sosial oleh masyarakat, tergantung dari sistem nilai-nilai sosial masyarakat tersebut, akan tetapi ada beberapa persoalan yang sama dihadapi oleh masyarakat pada umumnya.

Soekanto (2014 : 319) berpendapat, penulis sendiri menemukan beberapa kritik sosial yang muncul dalam novel Kalau Tak Untung, seperti: pelanggaran terhadap norma-norma masyarakat, kemiskinan, dan pendidikan.

“Ibu, saya belum hendak beristri, saya baru berumur sembilan belas tahun. Lagi pula kata orang yang pandai-pandai dalam bukunya tak baik kawin berfamili. Acap kali anak orang yang kawin sekaum itu, dungu atau mudah jadi gila atau tak sempurna bahagian tubuhnya. Kalau tak di anak itu benar, di keturunannya terjadi yang seperti itu.” Hlm 31.

Kutipan di atas terlihat bagaimana tokoh Masrul mendapatkan sebuah “hukuman” karena tidak mendengarkan perkataan orang tuanya. Sehingga, Masrul mendapatkan “hukuman” berupa kematian orang yang mencintai dirinya.

Kejadian seperti Masrul merupakan sebuah pelanggaran terhdapa norma. Sebab, Masrul tidak mengikuti anjuran yang diberikan orang tuanya sehingga ia bimbang dan terjadilah sebuah hukuman itu.

Masalah kemiskinan dan status sosial juga kentara sekali pada novel Kalau Tak Untung, salah satu faktor yang mengkibatkan konflik-konflik berlanjut yaitu status sosial.

“Akan diterimanyakah permintaan Masrul itu? Ia, Rasmani akan mengajar Aminah? Aminah tunangan Masrul? Ia yang selalu dipandang rendah oleh kaum Aminah? Aminah anak orang kaya yang selalu mencemoohkannya?” hlm 48.

“Dalipah pergi ke dapur, diambilnya garam sedikit, digilingnya halus-halus dan digaraminya nasi Rasmani. Iba benar rupanya hati Dalipah melihat adiknya makan dengan garam itu, tetapi apakah yang akan dikatakannya, suatu pun tak ada yang dapat diberikannya untuk pemakan nasi oleh adiknya itu …” hlm 10.

Kutipan tersebut memperlihatkan bahwa pembagian status sosial terjadi pada diri Rasmani, yang dihina ataupun dipandang sebagai orang tak mampu oleh kaum Aminah.

Selain itu, kakak Rasmani yakni Dalipah yang sangat sayang terhadap Rasmani memberikan sedikit taburan garam ke nasinya, banyak dikaitkan jika memakan nasi dengan garam. Maka, dapat dikatakan bahwa orang tersebut memiliki status sosial yang rendah.

Selain terlihat dari beberapa dialog tersebut, status sosial juga terlihat dalam dialog ibunya dan juga terlihat latar waktu dan tempatnya.

“Rasmani, Mani! Bangun Nak, bangunlah, hari telah tinggi, engkau akan pergi ke sekolah,” demikian terdengar seru seorang ibu yang sedang menyapu membersihkan rumah kecilnya. Hlm 9.

Berbeda dengan orang yang dicintai Rasmani yaitu Masrul, Masrul merupakan seorang yang memiliki status sosial lebih tinggi daripada Rasmani

“…diperbaikinya letak jas dan celananya, diperbaiki letak kopaih suteranya, dan barulah ia berjalan pergi ke kantor.” hlm 111.

Terlihat dari kutipan tersebut, pakaian yang dimiliki Masrul menandakan bahwa Masrul seorang yang berada atau memiliki status sosial lebih tinggi dari pada Rasmani, tidak semua orang dapat membeli jas ataupun memiliki kopyah sutera. Sutera sendiri hanya mampu dibeli oleh orang-orang berada pada zaman itu.

Pada penjelasan penulis di atas dalam novel Kalau Tak Untung dapat terlihat, bagaimana kritik sosial dapat muncul diakibatkan beberapa hal yakni kemiskinan hingga pelanggaran norma-norma masyarakat.

Referensi

Kosasih, 2012. Dasar-Dasar Keterampilan Bersastra. Bandung: Yrama Widya.

Nugiantoro, Burhan. 2015. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press.

Selasih, Kalau Tak Untung. 2001. Jakarta: PT. Balai Pustaka.

Soekanto, Soerjono & Sulistyowati, Budi. 2014. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Wicaksono, Andri. 2013. Pengkajian Prosa Fiksi. Bandung: Penerbit Garudhawaca.

Originally published at https://www.qureta.com/

--

--